Oleh : Arsita Setyani
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Cacingan merupakan masalah kesehatan
masyarakat di negara tropis, termasuk Indonesia. Penyakit ini juga paling rentan
dialami anak usia Sekolah Dasar (SD).1 Cacingan
adalah keadaan dimana seseorang terserang berbagai macam cacing yang dapat
merusak kesehatan. Akibat cacingan sangat beragam salah satunya kurang
darah, dan diare.2
Hasil survei Subdit Diare Kemenkes
RI tahun 2002 dan 2003 di 40 sekolah dasar di 10 provinsi menunjukkan
prevalensi kecacingan yang berkisar antara 2,2% - 96,3%. Dengan kata lain masih
ada area yang memiliki prevalensi kecacingan cukup tinggi.3 Akan
tetapi menurut Prof. Saleha Sungkar, DAP & E, MS dari Departemen
Parasitologi FKUI secara umum angka kecacingan terus menurun. Misalnya saja
sebelumnya 90% anak di Kepulauan Seribu menderita kecacingan, namun kini
jumlahnya turun sampai 51%.3
Penelitian yang dilakukan oleh Departemen
Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2010 di SD Paseban
Jakarta juga hanya menemukan 19 anak yang positif cacingan. Yang terbaru adalah
penelitian di sebuah pesantren di Tangerang awal tahun 2011, dari 300 santri
yang diperiksa hanya 9 yang positif cacingan.3 Kepala Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan & PPM Kementerian Kesehatan dr. Hartati Samsudin, MQIH mengatakan
berdasarkan hasil survei, saat ini anak Indonesia yang menderita penyakit
kecacingan angkanya rata-rata berada di kisaran 30%.4
Direktur
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian
Kesehatan Tjandra Yoga Aditama, SpP (K) mengatakan, cacing usus yang ditularkan
melalui tanah masih menjadi permasalahan kesehatan mendasar.5 Cacing
usus yang biasa ditemukan di wilayah tropis adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), serta cacing cambuk
(Trichuris trichiura). Cacing tambang
ini yang paling bahaya. Bahkan ketiga cacing ini yang ditulis oleh WHO untuk
ditanggulangi permasalahannya.6
Dikatakan lebih lanjut, satu ekor
cacing dapat menghisap darah, karbohidrat dan protein dari tubuh manusia.
Cacing gelang menghisap 0,14 gram karbohidrat & 0,035 gram protein, cacing
cambuk menghisap 0,005 mL darah, dan cacing tambang menghisap 0,2 mL darah. Sekilas
memang angka ini terlihat kecil, tetapi jika sudah dikalkulasikan dengan jumlah
penduduk, prevalensi, rata-rata jumlah cacing yang mencapai 6 ekor/orang, dan
potensi kerugian akibat kehilangan karbohidrat, protein dan darah akan menjadi
sangat besar.12
Kerugian akibat cacing gelang bagi
seluruh penduduk Indonesia dalam kehilangan karbohidrat diperkirakan senilai Rp
15,4 milyar/tahun serta kehilangan protein senilai Rp 162,1 milyar/tahun.
Kerugian akibat cacing tambang dalam hal kehilangan darah senilai 3.878.490
liter/tahun, serta kerugian akibat cacing cambuk dalam hal kehilangan darah
senilai 1.728.640 liter/tahun, ujar Prof. Tjandra.12
Selain ketiga cacing
tersebut, cacing kremi (Enterobius vermicularis)
adalah salah satu jenis cacing usus yang
juga masih tinggi infeksinya di Indonesia. Hasil penelitian di Kelurahan Tambak
Wedi, Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya pada tahun 2009 dengan jumlah sampel 46
orang didapatkan prevalensi infeksi cacing Enterobius
vermicularis sebesar 45,7%.9
Umumnya
pemeriksaan dalam survei-survei infeksi cacing usus di Indonesia adalah
pemeriksaan tinja sehingga infeksi Enterobius
vermicularis jarang dilaporkan8. Maka dari itulah penulis
tertarik untuk menyusun makalah/paper dengan judul “Bahaya Infeksi Enterobius vermicularis“ yang
akan menguraikan cara diagnosis dan bahaya Enterobiasis.
B. Identifikasi Masalah
1.
Mengapa infeksi Enterobius vermicularis jarang dilaporkan?
2.
Bagaimana
gejala klinis dari enterobiasis?
3.
Bagaimana
cara diagnosis enterobiasis ?
4.
Apa
saja faktor risiko enterobiasis?
5.
Bagaimana pengobatan dan pencegahan enterobiasis?
6.
Apa bahaya dan potensi kerugian dari enterobiasis?
C.
Batasan Masalah
Berdasarkan
identifikasi masalah yang telah disebutkan, makalah ini membatasi masalah yang
dipertanyakan pada gejala klinis dan diagnosis infeksi Enterobius vermicularis.
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
identifikasi masalah dan batasan masalah tersebut, makalah ini dirumuskan
permasalahannya pada bahaya dari infeksi Enterobius vermicularis.
E.
Tujuan Penulisan
Penulisan
ini bertujuan untuk melengkapi sebagian tugas mata kuliah Parasitologi dan
memberikan wawasan mengenai bahaya infeksi Enterobius vermicularis dan bagaimana cara mendiagnosisnya.
F.
Metode Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis melakukan
pengumpulan data/bahan dari kajian pustaka dan media elektronik dengan
mengakses internet.
G. Manfaat
Diharapkan hasil penulisan ini dapat
dijadikan bahan masukan bagi mahasiswa analis kesehatan khususnya dalam
mendiagnosis Enterobiasis dan memahami bahaya yang ditimbulkannya. Penulisan ini juga diharapkan menjadi bahan pengalaman berharga dan
dapat meningkatkan kemampuan penulis untuk melakukan penulisan yang akan
datang.
H.
Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri atas enam bab. Bab I
Pendahuluan, memuat: latar belakang, identifikasi masalah, batasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat dan sistematika
penulisan. Bab II Dasar Teori, memuat: klasifikasi,
hospes dan nama penyakit, distribusi geografik, habitat, morfologi, siklus
hidup, gejala klinis, diagnosis laboratorium, epidemiologi dan faktor risiko,
pengobatan dan prognosis, pencegahan dan pengendalian. Bab III Bahaya Infeksi Enterobius
vermicularis, memuat: infeksi berat Enterobius
vermicularis, gejala klinis dan potensi kerugian akibat infeksi berat
enterobiasis. Bab IV Penutup,
meliputi: kesimpulan dan saran.
BAB II
DASAR TEORI
A. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Rhabditea
Ordo : Oxyurata
Famili : Oxyuridae
Genus : Enterobius
Spesie : vermicularis10
Nama lain :
Oxyuris vermicularis, cacing kremi,
cacing kerawit,
pinworm, seatworm.
B. Hospes dan Nama Penyakit
Manusia dianggap satu-satunya
hospes11. Penyakitnya disebut enterobiasis atau oksiuriasis.
Masyarakat awam biasa menyebutnya kremi-an.
C. Distribusi Geografik
Seluruh dunia, dengan infeksi lebih
sering pada anak usia sekolah atau prasekolah dan dalam pemukiman padat. Enterobiasis
tampaknya lebih umum di daerah dingin
dibandingkan di negara-negara beriklim tropis. Merupakan infeksi cacing yang
paling umum di Amerika Serikat (sekitar 40 juta orang yang terinfeksi).11
D.
Habitat
Sejak
berbentuk telur hingga menetas, cacing ini tinggal di usus 12 jari kemudian
setelah berubah menjadi larva akan berpindah ke usus tengah (usus halus dekat seikum) yang merupakan
bagian atas sistem penyerapan nutrisi. Setelah dewasa di rongga seikum atau di usus besar, cacing betina gravid akan bermigrasi
ke perianal pada malam hari untuk
meletakkan telur.11,14
E.
Morfologi
·
Cacing dewasa
♂ (jantan): 2-5 mm×0,1-0,2
mm.
bentuk seperti tanda tanya, pada
anterior terdapat pelebaran seperti sayap (cephalic
alae), ujung posterior tumpul, spikulum jarang ditemukan.11
♀ (betina): 8-13 mm×0,3-0,5
mm.
pada anterior terdapat pelebaran
seperti sayap (cephalic alae), ujung
posterior panjang dan runcing, cacing
betina gravid mengandung 11.000-15.000 telur.11
·
Telur
Ukuran
telur Enterobius vermicularis 50-60 µm ×20-30 µm.
Telur berbentuk lonjong dan lebih datar
pada satu sisi (asimetris). Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari
dinding telur cacing tambang. 11
F.
Siklus Hidup
·
Telur diletakkan
pada lipatan perianal.
·
Autoinfeksi (self-infection) terjadi karena pemindahan
telur infektif ke mulut dengan tangan yang menggaruk daerah perianal.
·
Penularan orang-ke-orang
juga dapat terjadi melalui penanganan pakaian atau seprai tempat tidur yang
terkontaminasi.
·
Enterobiasis
juga dapat diperoleh melalui permukaan di lingkungan yang terkontaminasi dengan
telur cacing kremi (misalnya, tirai, karpet).
·
Sejumlah
kecil telur mungkin terdapat di udara
(debu) dan terhirup dan tertelan kemudian mengikuti perkembangan yang sama
sebagai telur yang tertelan.
·
Setelah
menelan telur infektif, larva menetas di usus kecil (usus halus dekat seikum).
·
dan cacing
dewasa menetap di rongga seikum, usus besar.
·
Kopulasi mungkin terjadi di rongga seikum, cacing ♂
mati setelah kopulasi dan cacing ♀ mati setelah bertelur.
·
Jarak
waktu dari menelan telur infektif sampai cacing betina dewasa betelur adalah
sekitar satu bulan.
·
Masa hidup
cacing dewasa adalah sekitar dua bulan.
·
Cacing betina
gravid bermigrasi malam hari keluar anus dan bertelur saat merayap di kulit
daerah perianal.
·
Larva yang
terkandung di dalam telur berkembang (telur menjadi infektif) dalam 4 sampai 6
jam dalam kondisi optimal (suhu tubuh).
·
Retroinfeksi, atau migrasi
larva yang baru menetas dari belakang kulit dubur ke dalam rektum kemudian ke
usus mungkin terjadi, tetapi frekuensi kejadian ini tidak diketahui.11
G.
Gejala Klinis
Enterobiasis
sering asimptomatik. Gejala yang paling khas adalah pruritus perianal (rasa gatal pada anus), terutama pada malam hari,
yang dapat menyebabkan superinfeksi bakteri (iritasi). Kadang-kadang, invasi
pada saluran kelamin wanita dengan peradangan vulvovagina dan pelvis atau granuloma
peritoneal dapat terjadi. Gejala lain termasuk sakit perut, anoreksia,
insomnia, lemah, lekas marah dan masturbasi.11
H.
Diagnosis Laboratorium
Meskipun
riwayat pasien dengan rasa gatal di anus pada malam hari dapat mengarah pada
infeksi cacing kremi, diagnosisnya tergantung dari ditemukannya telur
dan/cacing dewasa.
Identifikasi
mikroskopis, telur dikumpulkan di daerah perianal adalah metode pilihan untuk
mendiagnosis enterobiasis. Hal ini harus dilakukan pada pagi hari, sebelum
buang air besar dan mandi, dengan menekan pita perekat transparan ("Graham Scotch method", cellulose-tape slide test) pada kulit
perianal dan kemudian memeriksa pita yang ditempatkan pada slide (objek glass).
Bahan juga bisa diambil pada larut malam setelah pasien tidur beberapa waktu. Bahan
ini dapat diambil dari anak-anak dan kemudian dikirim ke laboratorium untuk
pemeriksaan.11
Kemungkinan
lain, anal swab atau "Swube tubes
" (alat dari batang gelas atau spatel lidah yang ujungnya dilapisi dengan
bahan perekat) juga dapat digunakan. Telur juga dapat ditemukan dalam tinja,
tetapi kurang sering dan kadang-kadang ditemukan dalam urin atau usapan vagina.
Cacing dewasa juga didiagnostik, saat ditemui di daerah perianal, atau selama
pemeriksaan ano-rektal, vagina atau dalam tinja. Karena cacing betina secara sporadis
mengadakan migrasi, perlu dilakukan 4-6 kali seri pemeriksaan untuk menemukan
infeksi.11
I. Epidemiologi dan Faktor Risiko
· Epidemiologi
Infeksi
cacing kremi lebih umum dalam keluarga dengan anak usia sekolah, terutama pengasuh
anak yang terinfeksi dan anak yang hidup dalam lingkungan yang sama (asrama,
panti asuhan).11
Seseorang
yang terinfeksi cacing kremi karena menelan telur infektif secara langsung atau
tidak langsung. Telur-telur ini diletakkan di sekitar anus oleh cacing betina
dan dapat terbawa ke permukaan (tangan, mainan, kasur/seprai, pakaian dan
tempat duduk toilet). Dengan meletakkan tangan siapun yang terkontaminasi
(termasuk tangan penderita sendiri) di sekitar daerah mulut atau meletakkan
mulut pada permukaan yang biasa terkontaminasi, seseorang dapat menelan telur
cacing kremi dan menjadi terinfeksi parasit cacing kremi. Karena telur cacing
kremi sangat kecil, hal itu memungkinkan untuk tertelan saat bernapas.11
Sesudah
seseorang menelan telur cacing kremi, terdapat masa inkubasi 1-2 bulan atau
lebih bagi cacing betina untuk dewasa. Sesudah dewasa, cacing betina bermigrasi
untuk bertelur disekitar anus pada malam hari, ketika banyak dari hospes sedang
tidur. Orang yang terinfeksi cacing kremi dapat menularkan parasit tersebut ke
orang lain selama masih terdapat cacing betina yang meletakkan telurnya pada
kulit perianal. Seseorang juga dapat terinfeksi kembali karena dirinya sendiri
(autoinfeksi) atau terinfeksi kembali karena telur dari orang lain.11
· Faktor Risiko
Faktor resiko yang berhubungan dengan enterobiasis adalah sebagai
berikut:
a) Iklim
Enterobiasis
lebih umum di daerah dingin. Pada daerah tropis
insiden lebih sedikit karena cukupnya sinar matahari dan udara panas. Telur menjadi
rusak karena sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Telur cacing kremi
dapat bertahan pada lingkungan di dalam rumah/gedung selama 2-3 minggu.
b) Hygiene
dan sanitasi
Menurut data Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2010, persentase rumah tangga yang memenuhi
kriteria Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan katergori baik rata-rata
secara nasional hanya 35,88 persen. Ketua umum Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia (PB IDI), dr. Prijo Sidipraptomo, SpRad(K), menuturkan terdapat empat
faktor pencetus seseorang menderita sakit. Sekitar 40% karena perilaku, 30%
lingkungan, 20% kelainan bawaan dan sisanya 10%
karena minimnya akses ke tempat kesehatan. Adapun yang dapat
diintervensi dengan perubahan pola hidup adalah karena perilaku dan lingkungan.13
Kondisi sanitasi
lingkungan, kebersihan pribadi yang buruk dan kesadaran akan kebersihan yang
masih rendah merupakan faktor risiko enterobiasis.
c) Kelompok
umur
Menurut
Prof. Tjandra, cacingan pada umumnya menyerang pada anak-anak karena daya tahan
tubuhnya masih rendah. “Anak-anak Prevalensi terbanyak yang cacingan adalah
anak berusia di atas 2 tahun (usia sekolah SD)," papar Prof. Saleha. Namun
infeksi cacing kremi dapat terjadi pada siapa saja khususnya yang kurang menjaga kebersihan
diri.
d) Kepadatan
penduduk
Daerah
pemukiman yang padat memudahkan terjadinya penularan penyakit enterobiasis
melalui debu yang diterbangkan oleh angin dan memungkinkan terjadinya infeksi
pada suatu institusi/keluarga.9
e) Kondisi
sosial ekonomi
Kecacingan
banyak terdapat di daerah miskin/kondisi sosial ekonomi yang rendah.
J.
Pengobatan dan Prognosis
Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri (self limited). Bila tidak ada reinfeksi, tanpa pengobatan pun
infeksi dapat berakhir. Pengobatan secara periodik memberikan prognosis yang baik. Sebaiknya
pengobatan dilakukan pada semua anggota keluarga secara bersamaan, mengingat
cacing kremi sangat mudah menular. Obat pilihannya adalah pyrantel
pamoate.11
"Kalau
sudah sampai menginfeksi vagina, pengobatannya tidak bisa lagi pakai obat
cacing biasa yang isinya pirantel pamoat. Harus pakai albendazol," kata ahli parasitologi dari Universitas Indonesia,
Prof. dr. Saleha Sungkar.14
Jika
anak Anda belum positif cacingan jangan pernah memberikan obat cacing.
Periksakan feses anak dua kali setahun atau setiap enam bulan sekali untuk
mendapatkan diagnosa dokter tentang cacingan pada anak Anda.
Menurut
Professor Saleha Sungkar, memberikan obat cacing haruslah didahului dengan
diagnosa positif cacingan dari dokter. "Selama ini banyak orang tua telah
keliru dengan memberikan obat cacing teratur selama enam bulan sekali padahal
sang anak belum tentu cacingan."
Untuk
itu Saleha menyarankan agar setiap orang tua yang telah melihat gejala cacingan
pada anaknya untuk memeriksakan feses (atau apusan dubur) sang anak ke
laboratorium terlebih dahulu. "Biasanya orang tuanya merasa jijik
mengambil feses anak sebagai sampel dan merasa obat cacing yang biasanya
berdosis tunggal tak berbahaya jika langsung dikonsumsi anak tanpa harus
memeriksakan feses. Padahal yang namanya obat pasti ada efek sampingnya sekecil
apapun," papar Saleha.
Professor
yang sedang melakukan penelitian bahaya telur cacing pada makanan kaki lima ini
justru menyarankan agar pemeriksaan feseslah yang harus dilakukan enam bulan
sekali. "Enam bulan sekali bukannya minum obat cacing tapi periksakan
feses ke laboratorium agar anak selalu bebas cacing," jelasnya.2
K. Pencegahan dan Pengendalian
· Pencegahan
Pada
acara pencanangan Hari Waspada Cacing, Jum’at (23/7/2010) yang diikuti oleh ribuan anak-anak dari
berbagai Sekolah Dasar di DKI Jakarta, dilakukan juga penandatanganan komitmen
antara Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan DKI Jakarta, serta Johnson &
Johnson dalam upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit kecacingan. Selain
itu diluncurkan juga program 3J, yaitu:
1)
Jaga
Kebersihan Diri,
Cuci tangan dengan sabun dan bilas
dengan air bersih yang mengalir sebelum dan setelah makan.
2)
Jaga
Kebersihan Makanan, dan
Cuci dengan air bersih yang mengalir
semua bahan makanan dan masak dengan matang.
3)
Jaga
Kebersihan Lingkungan.
Jaga kebersihan rumah dan
lingkungan.4
Untuk mencegah infeksi cacing kremi, beberapa langkah dapat
dilakukan:
1.
Cuci
tangan sebelum makan, setelah buang air besar dan setelah memegang binatang
peliharaan (telur cacing kremi dapat menempel pada bulu kucing/anjing).
2.
Mandi dan
mengganti baju dalam dua kali sehari (umumnya orang di daerah dingin jarang mandi
dan mengganti baju dalam).
3.
Memotong
dan menjaga kebersihan kuku.
4.
Menghindari
memegang daerah anus.
5.
Mencuci seprai,
handuk dan pakaian secara teratur.
6.
Anak-anak
dianjurkan untuk tidur dengan pakaian tertutup (piyama).
7.
Makanan
dan minuman dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung parasit.
8.
Cuci
sayuran sebelum dimasak di air mengalir/celupkan sebentar di air panas (hasil
penelitian di 3 pasar daerah Malang tahun 2010 menunjukkan 15,4% selada
mengandung telur cacing E. vermicularis)16
9.
Jagalah
kebersihan lingkungan, bersihkan dinding dan lantai rumah sacara teratur.
·
Pengendalian
“Untuk mengendalikan dan memberantas semua penyakit (termasuk
kecacingan) yang penting adalah kemitraan, kerjasama antara pemerintah, swasta
dan masyarakat yang bisa mandiri menjaga kesehatannya”, ujar dr. Hartati.4
Untuk mengatasi permasalahan ini, Kementerian Kesehatan melakukan
kebijakan operasional berupa kerjasama lintas program seperti kemitraan dengan
pihak swasta dan organisasi profesi. Tujuannya untuk memutuskan rantai
penularan, menurunkan prevalensi kecacingan menjadi <20% pada tahun 2015,
serta meningkatkan derajat kesehatan dan produktivitas kerja.
Kegiatan yang dilakukan antara lain sosialisasi dan advokasi,
pemeriksaan tinja minimal 500 anak SD per kabupaten/kota, intervensi melalui
pengobatan dan promosi kesehatan, meningkatkan kemitraan, integrasi program,
pencatatan dan pelaporan serta monitoring-evaluasi.7
"Kuncinya adalah perilaku hidup bersih dan sehat," kata
dr. IBN Banjar, Kabid Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan DKI
Jakarta. Saat ini pemerintah fokus pada upaya preventif dengan menggalakkan program hidup bersih dan sehat di
sekolah-sekolah.3
BAB III
BAHAYA INFEKSI Enterobius vermicularis
A. Infeksi
Berat Enterobius
vermicularis
Gatal-gatal
akibat infeksi cacing kremi tidak hanya bisa dirasakan di daerah dubur. Pada
wanita dengan infeksi berat, cacing tersebut bisa juga menyerang daerah sekitar
alat kelamin termasuk vagina dan saluran telur sehingga mengganggu sistem
reproduksi.
Cacing
kremi atau Oxyuris vermicularis merupakan cacing parasit yang banyak
menginfeksi anak-anak maupun dewasa dan ditandai dengan gejala khas berupa rasa
gatal di sekitar anus. Cacing dewasa dalam jumlah banyak kadang-kadang bisa
ditemukan pada feses atau tinja orang yang terinfeksi.
Dalam
siklus hidupnya di dalam tubuh manusia, cacing kremi selalu berpindah-pindah. Sejak
berbentuk telur hingga menetas, cacing ini tinggal di usus 12 jari kemudian
setelah berubah menjadi larva akan berpindah ke usus tengah yang merupakan
bagian atas sistem penyerapan nutrisi.
Setelah
dewasa, cacing ini akan bermigrasi ke bagian anus kemudian bergerombol dan
menyebabkan rasa gatal di bagian tersebut. Sebagian di antaranya juga akan
keluar bersama feses atau tinja dan umumnya bisa diamati dengan mata telanjang,
berupa cacing putih yang bergerak-gerak.
Nah,
dalam pengembaraannya menuju anus inilah, cacing dewasa sering tersesat lalu
bersarang di bagian-bagian yang tidak seharusnya kemudian bersarang di sana
untuk bertelur. Salah satunya adalah vagina, yang sering menjadi tempat
bersarang cacing kremi dewasa khususnya yang betina.
Di
vagina, cacing kremi bisa menyebabkan gatal atau bahkan radang yang pada
tingkat keparahan tertentu bisa disertai koreng. Infeksinya bahkan bisa lebih
jauh lagi, cacing-cacing itu kadang menyebar hingga saluran telur sehingga bisa
mengganggu sistem reproduksi.
*Awas! Cacing Kremi Bisa Menyerang Vagina Senin, 31/01/2011 13:46 WIB
http://www.detikhealth.com/read/2011/01/31/134659/1557107/763/awas-cacing-kremi-bisa-menyerang-vagina?ld991107763
B.
Gejala
Klinis Infeksi E. vermicularis pada vagina
Sudah
tiga tahun usia perkawinan pasutri Dono dan Yuli tapi sampai saat ini belum juga
lahir bayi yang diidamkan. Ketika menjalani pemeriksaan secara seksama oleh
dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan, ternyata pada rongga rahim Yuli
ditemukan luka kronis. Yuli mengaku, sejak menikah memang sering menderita
keputihan. Selama ini hanya diobati dengan obat tradisional seperti rebusan
daun sirih serta jamu antikeputihan. “Sebentar sembuh tapi kemudian kambuh
kembali”, katanya. Apakah keputihan ini saja gara-garanya, masih perlu diteliti
lebih lanjut.
“Keputihan
yang kronis memang bisa merupakan salah satu penyebab kemandulan”, kata dr.
Asri dari Pusat Pelayanan Keluarga Pro-Familia, Jakarta. “Sebab itu perlu bagi
setiap wanita menikah melakukan ‘kuras’ vagina”, saran dokter dari klinik yang
didirikan Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI) ini. “Kuras” vagina
artinya, pengontrolan dan pembersihan vagina sampai ke mulut serta rongga
rahim.
Menurut
dr. Asri, lebih dari 70% wanita Indonesia mengalami penyakit keputihan yang
disebabkan oleh jamur, parasit seperti cacing kremi atau kuman (Trichomonas vaginalis). Korban
yang mengalami keputihan karena cacing kremi, gejalanya selain merasa gatal,
juga adanya lendir keruh dan kental berwarna sedikit kekuningan seperti susu,
terkadang berbusa.
Keputihan karena cacing
kremi ini juga dapat diderita oleh anak-anak perempuan (balita sampai anak
besar) akibat telur yang menempel pada makanan atau barang lain yang
terkontaminasi. Sebab itu kalau ada anak perempuan mengeluh di daerah vagina
terasa gatal dan mengeluarkan lendir kekuningan, segeralah periksakan ke
dokter. Mungkin penyebabnya cacing kremi.
Kalau disebabkan oleh kuman atau trikomonas pada umumnya
gejalanya selain gatal, lendir berwarna kehijauan.
Perkumpulan
Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI)
http://www.pkmi-online.com/health_solution3.htm
C.
Potensi kerugian
Jika dikatakan kerugian ekonomi akibat
cacingan karena cacing gelang, cambuk dan tambang (karena kehilangan
karbohidrat, protein, anemia dan produktivitas) sebanyak 177 miliar rupiah per
tahun, begitu juga halnya potensi kerugian akibat infeksi berat cacing kremi
betina yang dapat menyerang saluran telur sehingga bisa mengganggu
sistem reproduksi, bahkan menyebabkan infertilitas.
Bila
hal tersebut terjadi maka akan ada penurunan kuantitas dan kualitas generasi
penerus bangsa. Biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi infeksi berat cacing
kremi pun cukup besar. Selain itu keputihan akibat cacing kremi akan mengganggu
kondisi psikologi-sosial penderita.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan non
STH, debu, gejala ringan, pengobatan satu keluarga
Masalah kecacingan yang perlu
diperhatikan tidak hanya cacing gelang, cambuk dan tambang, tetapi juga cacing
kremi karena dapat menimbulkan kerugian yang tak kalah besarnya akibat infeksi
berat yang ditimbulkan. Perlu diketahui infeksi cacing kremi yang menyebabkan
pruritus ani (gatal pada anus) dapat pula menyerang vagina dan saluran
reproduksi pada infeksi berat. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur pada
pemeriksaan mikroskopik yang di dapat dari anal swab metode Gram Scotch.
Pengobatan hanya diberikan jika ditemukan diagnosis positif. Karena itu
diagnosis laboratorium sangatlah penting mengingat infeksi cacing kremi sangat
mudah menular.
Diagnosis yang tepat merupakan kunci pengobatan
kremian ini. Untuk itu pemahaman mengenai morfologi, siklus hidup dan gejala
klinis enterobiasis perlu dipahami dengan benar oleh para analis kesehatan
(dalam hal ini khususnya mahasiswa) demi terwujunya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Enam bulan sekali bukanlah minum obat
cacing tetapi periksakan anak ke laboratorium agar terbebas dari cacingan.
B.
Saran
Cacingan merupakan
masalah yang serius, mengingat akibatnya dapat menurunkan kualitas generasi
muda karena terganggunya proses pertumbuhan dan proses belajar, jelas Saleha di
acara yang bertajuk Generasi Sehat Indonesia karena Waspada Cacing Setiap Saat.
Rully
Prasetyanto Brand Manager Combantrin PT Johnson & Johnson Indonesia
mengatakan ancaman penyakit cacingan pada generasi penerus perlu ditangani
dengan serius. Selain itu, konsisten dan berkesinambungan.
Sosialisasi
bahaya cacingan memang seharusnya terus digalakkan mengingat cacingan bisa
menjadi masalah yang serius di negara tropis, termasuk Indonesia.
Pihak
yang terkait perlu memperhatikan kecacingan karena cacing kremi, sebab bahaya yang
ditimbulkan juga besar.
Mungkin karena
bentuknya yang mirip, tersebarlah sebuah mitos aneh (dan bodoh), “kalau makan
kelapa parut nanti bisa cacingan”. Padahal teori generation spontanea sudah
lama tumbang. Tidak mungkin dari daging bisa lahir belatung, dari tumpukan padi
muncul tikus, dan begitu pula dari parutan kelapa jadi cacing kremi. Kecuali
kalau di parutan kelapanya memang ada telur kreminya.
Perlu dilakukan
penelitian/pengkajian lanjutan mengenai ada tidaknya kasus infeksi berat akibat
cacing kremi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Data
yang diperoleh dengan mengakses internet mengacu pada:
Garcia, Lynne S. 1996. Diagnostik Parasitologi
Kedokteran. Jakarta: EGC.
1.
Cacingan
Bisa Turunkan Kecerdasan Anak SD. Senin, 31 Januari 2011-10:17 WIB
http://lifestyle.okezone.com/read/2011/01/31/195/419626/cacingan-bisa-turunkan-kecerdasan-anak-sd
2.
Jangan Beri Obat Cacing Bila Si Kecil
Tak Cacingan.
Selasa, 1 Februari 2011-05:45 WIB
http://www.tribunnews.com/2011/02/01/jangan-beri-obat-cacing-bila-si-kecil-tak-cacingan
3.
Waspadai
Parasit Perut Buncit
http://www.kompas.com/news/read/2011/02/19/09454436/www-kompas-com
4.
Pencanangan Hari Waspada Cacing
http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1151-pencanangan-hari-waspada-cacing.html
5.
20 Persen Anak Indonesia Menderita Cacingan
http://www.kompas.com/news/read/2010/07/09/04141339/20-Persen-Anak-Indonesia-Menderita-Cacingan
6.
Penyakit Cacingan Masih Ancam Kesehatan Anak
Indonesia. Kamis, 8 Juli 2010-17:31 WIB
m.okezone.com/read/2010/07/08/27/350939
7.
Penyakit Kecacingan Masih Dianggap Sepele
http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1135-penyakit-kecacingan-masih-dianggap-sepele.html
8.
Enterobiasis
pada Anak Usia Di bawah 6 Tahun di desa Cikaret
Cermin Dunia Kedokteran No. 97, 1994 hal.16
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_097_foodborne_diseases.pdf
9.
Faktor
Yang Berhubungan Dengan Enterobiasis Pada Anak SD Di Kelurahan Tambak Wedi,
Kecamatan Kenjeran Tahun 2009
Hidri
Dwian Purti, 100730315, Fakultas Kesehatan Masyarakat
http://adln.fkm.unair.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=adlnfkm-adln-hidridwian-1476
10. Taxonomic
Classification
Michigan State University. Est. 1855. East Lansing,
Michigan USA.
https://www.msu.edu/course/zol/316/evertax.htm
11.
Enterobiasis
Center for Disease Control and
Prevention 1600 Clifton Rd. Atlanta, GA 30333, USA. http://www.cdc.gov/parasites/pinworm/biology.html
12.
Penyakit
Kecacingan Masih Dianggap Sepele
http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1135-penyakit-kecacaingan-masih-dianggap-sepele.html
13.
Dokter
Kecil, Agen Perubahan Cilik Senin, 1 Agustus 2011-09.34 WIB
m.okezone.com/read/2011/08/01/195/486537
14.
Awas! Cacing
Kremi Bisa Menyerang Vagina Senin, 31/01/2011 13:46 WIB
http://www.detikhealth.com/read/2011/01/31/134659/1557107/763/awas-cacing-kremi-bisa-menyerang-vagina?ld991107763
15. Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI)
http://www.pkmi-online.com/health_solution3.htm
16. Skripsi
Jurusan Biologi-Fakultas MIPA UM, 2010
Prevalensi Telur Cacing
Nematoda Parasit Usus Manusia Pada Sayuran Selada (Lactuca sativa L.) di
Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.
karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/biologi/article/view/8716
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusOwh Begitu
BalasHapusPosting Komentar